KOTA PANGKALPINANG
Penulis: Drs. Akhmad Elvian Kepala Dinas Kebudayaan, Pariwisata, Pemuda dan Olahraga Kota Pangkalpinang
edisi: 16/Nov/2009 WIB
Toponim adalah sebuah warisan yang harus tetap dilestarikan. Pelestarian terhadap warisan sejarah dan budaya dapat dimulai melalui tindakan preservatif dari seluruh komponen masyarakat
Pangkalpinang adalah salah satu kota bersejarah di Indonesia. Dengan mengetahui dan mempelajari jejak rekam peristiwa sejarah pen_ting yang terjadi di Kota Pangkalpinang diharapkan tumbuh pemahaman terhadap perkembangan Kota Pangkalpinang sehingga akan menumbuhkan kesadaran yang tinggi dari warga Pangkalpinang untuk merasa memiliki kotanya, memiliki kepedulian dan secara bersama cepat tanggap terhadap persoalan-persoalan pembangunan masyarakat dan pembangunan Kota Pangkalpinang. Tumbuhnya kesadaran warga Kota Pangkalpinang tentang sejarah keberadaan kotanya diharapkan dapat menjadi modal dasar bagi pembangunan, pengembangan dan pelestarian Kota Pangkalpinang.
Pembentukan Pangkalpinang dimulai sejak adanya perintah Sultan Susuhunan Ahmad Najamuddin Adi Kesumo (memerintah pada tahun 1758-1776) kepada Abang Pahang bergelar Tumenggung Dita Menggala dan kepada Depati serta batin-batin, baik Batin Pesirah maupun Batin Pengandang dan kepada para Krio yang ada di Pulau Bangka untuk mencari Pangkal atau Pengkal sebagai tempat kedudukan Demang dan Jenang yang akan bertugas untuk mengawasi parit-parit penambangan timah, mengawasi pekerja-pekerja yang disebut kuli tambang dari Cina, Siam, Kocin dan Melayu dan mengawasi distribusi timah dari parit-parit penambangan hingga sampai ke Kesultanan Palembang Darussalam. Diantara pangkal atau pengkal yang didirikan masa itu adalah pangkal Bendul, Bijat, Bunut, Rambat, Parit Sungai Buluh, Tempilang, Lajang, Sungailiat, Gagal, Pangkal Koba, Balar, Toboali dan Pangkalpinang yang kita kenal sekarang. Setelah pendirian pangkal atau pengkal lalu Sultan Palembang mengangkat dan mengirimkan Demang dan Jenang langsung dari Palembang untuk segera bertugas di masing-masing pangkal atau pengkal.
Struktur tata ruang Pangkalpinang pada awalnya hanyalah sebuah pangkal atau pengkal pengumpul timah dengan parit-parit timahnya dan pemukiman di sekitar Sungai Rangkui (Rangkui berarti bergerombol yaitu orang keluar masuk Pangkalpinang menggunakan perahu atau wangkang datang dan pergi berangkui-rangkui atau bergerombol gerombol) dan Sungai Pedindang yang membelah Kota Pangkalpinang. Bekas-bekas parit atau tambang timah tersebut masih dapat kita lihat pada bekas galian yang oleh orang Bangka disebut dengan Kolong. Di Pangkalpinang terdapat sekitar 19 kolong dan yang masih tersisa diantaranya adalah Kolong Kepuh (karena airnya kepuh), Kolong Ijau (karena airnya berwarna hijau), Kolong Bacang I dan Kolong Bacang II, Kolong Sampur, Kolong Bukit Intan, Kolong Tambang 12 (parit 12), Parit 24, Kolong Kelemen atau Kolong Bitun, Kolong Pedindang, Kolong Nangka I dan Kolong Nangka II, Kolong Teluk Bayur, Kolong Bintang, Kolong Pasar Ikan atau Gudang Padi, Kolong Kacang Pedang, Parit 6, Parit 42 (Si Luk), dan Parit Lalang. Pangkalpinang terus berubah dan berkembang dengan pesat seiring dengan perjalanan sejarah dan aktifitas kehidupan masyarakatnya.
Di samping adanya orang-orang melayu, kedatangan pekerja-pekerja tambang timah dari Cina yang kemudian membentuk kongsi-kongsi pertambangan sangat mewarnai wajah Kota Pangkalpinang. Pola pemukiman Cina, tempat ibadah seperti kelenteng dan makam-makam tua orang Cina yang disebut pendem Cin. Jejak sejarah dan budaya tersebut telah menapak dalam berbagai bentuk bangunan fisik vernakuler Cina, dan berbagai warisan dan tradisi seperti bahasa Cina Bangka, kesenian dan kebiasaan-kebiasaan masyarakatnya. Belanda juga mengangkat pemimpin bagi orang-orang Cina di Pangkalpinang yaitu Majoor titulair der Chineezen Oen Kheng Boe (Wen Qing Wu) 1870-1925. Bentuk-bentuk tinggalan berupa bangunan-bangunan bersejarah di Kota Pangkalpinang berarsitektur vernakuler Cina ada juga yang bergaya Eropa dan Melayu. Realitas dinamika kehidupan masyarakat masa lalu di samping meninggalkan monumen hidup berupa bangunan sejarah dan budaya juga telah meninggalkan jejak dalam bentuk nama tempat yang menggambarkan kondisi tempat tersebut dari sudut filosofi, sejarah budaya, tatanan sosial ataupun vegetasi dan hewan pada masa itu atau yang lebih populer dengan sebutan Toponim.
Penamaan lingkungan pemukiman Cina seperti penamaan kawasan Nai Si Fuk yang berarti tahi timah atau Tailing yang menumpuk, kawasan Yung Fo Hin (kampung bukit yang tinggi) yang sekarang disebut Semabung dan Parit Lalang yang berasal dari kata Parit yang ditumbuhi ilalang atau Lalang. Kawasan Bacang yang berasal dari nama buah Baciang (sejenis pohon mangga), kawasan Longinbuk yang berarti tempat perawatan dan pemeliharaan orang tua (jompo) dan kawasan Pasir Putih yang disebut Sung Sa Tie.
Di samping itu ada juga penamaan berdasarkan vegetasi dan hewan seperti Kampung Betur, Kampung Asam, Bukit Nyato, Bukit Merapen, Kacangpedang, Pangkalbalam, Kampung Katak dan penamaan berdasarkan profesi penduduk seperti Kampung Besi (thiat phu), thiat artinya besi dan phu artinya toko, Jagal (tempat jagal hewan), Kampung Opas, Bukit Tani, Kejaksaan, Gang Mantri, selanjutnya penamaan berdasarkan asal penduduk yang menempati daerah tersebut seperti Bogorejo, Rejosari, Ampui dan Sumberejo. Penamaan lainnya berdasarkan kondisi tempat dari sudut sejarah, budaya dan tatanan sosial seperti Tebet (pintu air), Lembawai, Gabek (Goback), Kampung Dalam, Kampung Tengah, Kampung Tuatunu, Kampung Pelipur, Kawasan Bantemg (Hebe), Kawasan Pasar Mambo, Kawasan Koe Khian Lan dan Gudang Padi, Stasiun, Len Listrik, Bukit Baru, Bukit Besar, Bukit Intan dan lain sebagainya.
Kehadiran penguasa kolonial Belanda di Pangkalpinang dengan menjadikan Kota Pangkalpinang sebagai ibukota Keresidenan Bangka pada pada tanggal 3 September 1913 menyisakan bangunan-bangunan yang mencerminkan kekuasaan ke civic centre antara lain kediaman Residen (Residentshuis te Pangkalpinang op Bangka), Wilhelmina Park (Tamansari).
Dari toponim Kota Pangkalpinang dapat dilihat, bahwa Kota Pangkalpinang adalah sebuah kawasan yang pluralitas dan dalam perkembangannya dapat tumbuh secara harmonis seiring dengan dinamika perkembangan masyarakat dan pertumbuhan Kota Pangkalpinang sendiri. Melalui Toponim Pangkalpinang dapat menjadi smelt port society, terutama dalam menghadapi persinggungan antar budaya dan dengan budaya asing, serta bagaimana menata masyarakat agar dapat hidup secara serasi dan selaras dalam menghadapi berbagai perubahan yang begitu universal dan cepat terjadi.
Toponim adalah sebuah warisan yang harus tetap dilestarikan. Pelestarian terhadap warisan sejarah dan budaya dapat dimulai melalui tindakan preservatif dari seluruh komponen masyarakat Kota Pangkalpinang.
Selanjutnya dapat dilakukan melalui tindakan progresif melalui upaya perlindungan, pengembangan dan pemanfaatannya bagi kepentingan dan kesejahteraan masyarakat. Bangsa yang besar lahir dari pemikiran yang besar, sedangkan pemikiran adalah produk budaya yang intangible. Untuk menjadi bangsa yang besar, maka kita harus membangun budaya bangsa termasuk melindungi warisan budayanya. Peristiwa dan pengalaman sejarah akan menjadi guru yang terbaik bagi tindakan manusia untuk tidak mengulangi berbagai kekeliruan dan kesalahan sehingga kita dapat bertindak lebih bijaksana dimasa yang akan datang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar